Anggrek Bulanku

April 27, 2008 at 10:55 am Tinggalkan komentar

Aku tak mau menjadi diriku yang sekarang. Tidak untuk saat ini. Aku ingin mencari sebuah ketenangan. Bukan sesuatu yang membuat tubuh dan jiwaku melayang entah kemana. Dan kini, hanya angin kemarau yang mengerti benar kegundahanku. Menyesakkan nafasku, menggerogoti kerongkonganku dengan dahaga yang tak berujung. Selain itu, wajah-wajah sahabat yang dulu kukenal sehidup semati seketika berubah sinis. Mereka tak lagi menganggapku ada di dunia. Di dunia mereka yang gelap. Dunia yang dulu pernah menjadi tempatku berpijak, dunia yang membuatku sakaw, dunia yang membuatku mengenal miras, tato, tindik dan free sex. Untung saja aku tak tergiur dengan gemulai tubuh Siska, setidaknya aku tak pernah benar-benar membuat setiap jengkal darah yang mengalir di nadiku ini kecanduan. Hingga saat peristiwa naas itu terjadi. Saat Tiko tiba-tiba terbujur kaku dengan sisa bubuk jahanam yang masih saja mencoba masuk melalui goresan silet di lengannya yang kurus. Saat aku tak mampu berbuat apa-apa untuk mencegah roh itu keluar dari mulutnya. Ah, aku melihatnya dengan jelas. Nyawa itu meronta, seolah ingin segera terlepas dari tubuh yang selalu membawanya ke jalan yang salah.

Apa yang terjadi dihadapanku masih terbayang sampai sekarang. Kejadian sebulan lalu yang bagaikan belati tajam itu tak mau cepat terhempas. Tiko yang begitu lugu…. Tiko yang hanya sosok tak berdaya, sosok yang bisa dikatakan baru mengenal dunia hitamku itu tak seharusnya mati dengan cara demikian. Akulah yang lebih pantas menerimanya. Aku yang membuat Tiko tahu nikmatnya sagu neraka itu. Aku sendiri yang membuatku kehilangan adik kesayanganku. Kini aku masih tak sanggup menerima kepergiannya. Ditambah lagi, mendengar isak ibundaku tercinta. Isak tangis yang hanya terdengar sayup-sayup dari arah kamarnya. Aku sendiri enggan meninggalkan kamarku selama seminggu semenjak kepergian Tiko. Aku merasa nyaman berada di dalam penjara yang kubuat sendiri dengan mengunci pintu dan jendela rapat-rapat, mengasingkan diri kedalam dunia hitamku yang berbeda. Berbeda, karena dari sinilah mulai kutemukan kembali cahaya hidupku yang hilang.

Ega meneleponku. Salah seorang cewek manis yang menghuni kelas teknik elektro di kampusku itu hanya memberi kabar tentang di DO (drop out)nya diriku.

Thanks atas infonya yah!”

“Kok lemes gitu, Dha? Aku ikut nyesel atas kepergian adikmu. Maaf aku gak bisa datang waktu pemakamannya, banyak lab yang gak bisa aku tinggalin di kampus.”

“Gak papa, Ga. Makasih sudah memberitahuku. Teman sefakultasku gak ada yang mengabariku hal ini. Mungkin mereka malu punya teman sepertiku yah?”

“Kamu ini ada-ada aja, maybe akunya saja yang kecepetan ngasih kabar ke kamu.”

Telepon Ega mengingatkanku pada anak-anak BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa)di kampus. Mungkin aku satu-satunya anggota BEM yang melengos kearah yang gak bener. Bodo amat, ini hidupku… sekarang aku sudah di DO. That`s okay. Aku bisa menerima ini semua.

“Dha? Kamu masih mendengarku? Eh, ada yang mau kenalan nih. Fans berat kamu loh!”

“Jangan sekarang deh, Ga! Aku lagi males.”

“Bentar aja, nih aku kasih ke dia yah.”

“Halo… Assalamu`alaikum, Mas Yudha.”

“Wa`alaikumsalam, sapa neeh?” Ucap Yudha dengan ketus.

“Aku Jeany, adik sepupu Mbak Ega. Katanya Mas Yudha habis ngurung diri di kamar yah? Sedih gara-gara ditinggal adiknya yah? Terus sekarang udah mulai brewokan yah? Ihh, pasti jelek deh mukanya.”

“Siapa yang kamu kirim jadi mata-mata? Jujur aja!” Yudha sedikit dongkol mendengar kepolosan yang terlontar dari seberang teleponnya itu. Dan ia benci, perkataan gadis diseberang teleponnya itu benar.

“Dari ibu Mas Yudha.” Jawabnya kemudian. Dari sudut mata Yudha, ia menangkap sosok wanita dengan gurat usia yang bertambah di keningnya, terkekeh saat melintas membawa rantang kearah dapur. Ibunya itu tampaknya sudah mengetahui jawaban dari pertanyaan Yudha yang dilontarkan pada Jeany dengan lantang tadi. Ibunya Yudha jadi malu-malu kucing deh.

“Oh, bagus! Sudah yah, Mas Yudha mau semedi lagi di kamar.”

“Mas, brewoknya dicukur yah. Biar gantheng lagi.”

“Tut…tut…tut…” Jawaban Yudha yang terdengar dari telepon Jeany membuatnya cemberut tak karuan. Ega yang tersenyum simpul dibelakang adik sepupunya itu cuma memberikan dua acungan jempol sambil kemudian berlalu dan berkata, “Selamat berjuang yah!”

^_^

“Ga, aku mesti gimana nih? Jujur aja aku gak ngerti gimana pacaran itu.”

“Haah? Emang kamu belom pernah pacaran? SMA kemana aja?”

“Yah sekolah-lah, pernah sih tapi waktu itu dicomblangin gitu sama temen sekelasku. Gak lama sih pacarannya.”

“Nah waktu SMA jadul (jaman dulu) itu kamu pacarannya gimana?”

“Surat-suratan doang, kalo dikelas sama-sama gak berani negur.”

“Aku boleh ngiler gak nie? Yudha yang selama ini cuek sama cewek ternyata… gak ngerti gimana pacaran?

“Harusnya aku gak usah minta saran ke kamu yah? Sia-sia aja.”

“Eit, berhubung yang lagi deket sama kamu itu adik sepupuku. Aku bocorin dikit gimana menaklukkan dia.”

Yudha mangut-manggut seperti orang bego setelah curhat (mencurahkan hati) by phone dengan Ega yang tidak mengenakkan barusan. Semua tips jitu sudah direkam diotaknya yang mulai jatuh cinta itu.

Malam minggu pertama main kerumah Jeany, Yudha hanya membawa badan saja. Tentu saja selain F1ZR bututnya. Jeany menyambutnya dengan ramah. Mereka cepat akrab, mungkin karena kecerewetan Jeany. Coba kalau Jeany pendiam, bisa-bisa jadi kuburan deh tuh rumah.

Malam minggu kedua dan ketiga, Yudha hanya berbokis ria lewat telepon. Satu dua jam berlalu tak terasa. Yudha seperti mendapatkan semangat baru dalam hidupnya. Semua perkataan Jeany yang sederhana membuatnya sadar bahwa kehidupannya masih panjang. Di lubuk hati Yudha, sebuah benang merah seakan-akan mulai mencoba menyeruak alam mimpinya. Menunjukkannya jalan terang yang baru.

“Dha, lihat tuh udah hampir limapuluh ribu lebih.” Ipul komat-kamit dari luar kabin wartel.

Yudha kemudian mengangguk. Setelah percakapannya dengan Jeany ditutup dengan gombalan manja, Yudha pun keluar dari kabin lalu menyuruh Ipul pulang kerumah.

“Wartel sendiri dibikin bangkrut. Dasar Lu!” Ipul geleng-geleng sendiri sambil mengemasi buku kuliah yang menemaninya jaga.

“Tenang, masih dalam batas normal kok.” Ucap Yudha santai.

Ipul yang sudah menganggap Yudha seperti kakak sendiri itu pun mengalah. Ia tak habis pikir, kekuatan cinta bisa sebegitu besarnya mempengaruhi Yudha. Tapi Ipul senang, pengaruh ini membawa Yudha ke jalan yang benar. Mungkin Alloh SWT masih menyayangi Yudha, hingga tak membiarkan Yudha kembali terpuruk dalam lembah hina itu.

^_^

“Mas, gimana ujiannya tadi pagi. Bisa dikerjain semua `kan? Wah, Jeany gak sabar nunggu berita lolosnya Mas masuk Dhe-tiga Komunikasi itu.”

D-D-D yah?, pikir Yudha sambil terkekeh dalam hati.

“Sori Jean, Mas tadi kesiangan. Jadi yah, gak ikut ujian. Alias gak ikut tes, alias gak bakal masuk ke Dhe-tiga itu.”

“Yaahh, udah susah-susah Jeany ngasih semangat mulu buat belajar, eh malah kesiangan?”

“Habis gimana lagi? Mas Yudha juga sudah berusaha masang weker, gak tahu nih kebetulan banget wekernya gak bunyi.”

“Alaaaah, paling juga dimatiin secara gak sadar. Habis itu Mas Yudha ngorok lagi `kan?”

Yudha memang paling kalah kalau ngomong sama Jeany. Tukang debat di kampusnya dulu bisa dikalahkannya. Tapi, semua ucapan Jeany tak berani dibantahnya. Seolah-olah ada kekuatan di dalam diri Jeany yang membuatnya luluh. Ia berjanji akan segera masuk kuliah, entah di universitas mana di bumi Jogjanya ini. Ia juga berjanji takkan menenggelamkan dirinya ke dunia gelapnya yang dulu. Semua ia lakukan demi Jeany. Ia seolah takluk bagaikan banteng beringas yang dikendalikan oleh matadornya. Tapi Yudha memang sudah benar-benar jinak sekarang. Ia hanya mau melakukan sesuatu hal yang menurut hati nuraninya baik.

Dengan membawa sebuah anggrek bulan plus pot dan arang yang menjadi tempat hidup akar-akarnya, Yudha memasuki pekarangan rumah Jeany yang bersih dengan tumbuh-tumbuhan hijau yang ditata sendiri oleh kekasihnya itu. Jeany sangat menyukai tanaman. Kemana-mana dia selalu menyempatkan diri bertanya, membeli bahkan meminta kepada si empunya `tanaman yang dia taksir`. Wah-wah, Yudha jadi takut sendiri kalau kalah saing sama anggrek bulan putih yang kini dibawanya itu.

Sukur deh, bunga anggrek itu buru-buru dibawa Jeany masuk ke belakang. Yudha sempat kuatir Jeany ngekep (memeluk) pot itu didepannya.

“Mas, makasih banget yah. Bunganya cakep deh kayak yang dikasih. Hehehe.”

Jeany mulai narsis nie seperti biasanya. Tapi Yudha menyukai benar sikap Jeany yang ceplas-ceplos ini. Ia sangat menghormati Jeany, bahkan mencintainya, amat sangat mencintainya.

^_^

Hari Valentine pertama, setelah setahun Yudha dan Jeany mulai bersama terasa begitu hangat. Meskipun entah ada angin apa, tiba-tiba hujan deras mengguyur Jogja. Yudha yang datang dengan bertelanjang kaki, celana panjang yang digulungnya selutut dan jas hujan yang menutup sekujur tubuhnya membuat pemandangan itu tampak lucu bagi Jeany.

“Mas, mau-maunya datang hujan-hujan begini.”

“Demi Jeany, apa sih yang enggak.” Yudha mulai bisa mengobral rayuan setelah di privat sama Ipul.

“Gombal banget! Nih, pas banget Jeany udah buatin kopi hangat.”

Yudha segera berteduh di emperan teras rumah jeany yang bercat putih itu. Ia melepas jas hujan lalu segera duduk di kursi depan rumah Jeany. Tempat special yang setia memberikan suasana indah buat mereka. Tempat yang membuat mereka tak memilih tempat lain untuk kencan. Satu-satunya tempat mereka bertemu yang diijinkan oleh kedua orangtua Jeany. Mereka pasrah saja, toh mau apa mereka dluar. Kebetulan banget, hal ini lebih memudahkan Yudha yang anak kuliahan. Yang masih numpang dibiayai kakak-kakaknya, yang juga mengandalkan hasil dari wartel mungilnya, dan segudang yang-yang lain yang membuatnya tambah bersyukur kepada Alloh SWT.

Yudha segera mengeluarkan dua batang cokelat kesukaan Jeany, plus setangkai mawar merah yang bertangkai sangat panjang. Mungkin ada kalau setengah meter. Jeany tampak terkejut, namun ia hanya tersenyum simpul diatas dagunya yang berlekuk tajam.

“Biar gak cepet layu.” Kata Yudha kemudian.

“Kok Jeany yang dikasih cokelat? Harusnya `kan Jeany yang ngasih?”

“Tapi Jeany bilang, Jeany gak mau ngerayain valentine `kan? Mas juga gak bermaksud begitu karena bagi Mas, setiap hari dalam hidup kita adalah hari kasih sayang.”

“Mas Yudha privat sama siapa? Tumben lebih banyak ngegombal hari ini?”

“Ada deh.” Yudha terkekeh dalam hati, mengucapkan terimakasih banyak pada Ipul yang jatuh bangun membelikannya beberapa buku berisi puisi-puisi cinta dan rela mengendap-endap mengambil koleksi novel Mira.W yang tertata rapi di rak buku kakaknya.

^_^

Hari valentine tahun kedua yang seharusnya dihiasi oleh Yudha dan Jeany kini tak ada lagi. Jeany yang kukuh dengan idealisme yang tinggi yang membuatnya ingin berjilbab itu membuat hati Yudha perih. Jeany meminta dengan hormat agar Yudha mengijinkannya, dengan satu jalan -PUTUS-, itu mungkin hanya dalih. Yudha mau apa lagi?

Sebuah surat yang mendendangkan doktrin-doktrin tajam, yang digambarkan oleh Yudha sedang membutakan mata Jeany, terukir dari tangan Yudha. Yudha mengkritik tajam semua keinginan Jeany, yang dimatanya seolah-olah hanya alasan untuk meninggalkan sosok Yudha yang memang tak pernah pantas mendapatkan seorang putri seperti dirinya.

Aku akan tetap menjadi matahari…

Meskipun malam, aku masih tetap berada di angkasa…

Bersembunyi di balik belahan bumi lainnya…

Dan aku akan tetap bersinar selamanya… Untukmu…

^_^

Hari yang cerah itu, 14 Februari 2002, beberapa kuncup anggrek bulan putih bermekaran di salah satu sudut pekarangan rumah Jeany. Seonggok tubuh yang tampak mulai gemuk menatap lekat pemandangan itu, jauh diatas F1ZR butut kesayangannya. Mata yang berkeliling ke seluruh rumah itu berkaca-kaca. Airmata yang sebenarnya enggan menetes dari cicitnya anak adam itu, terurai di mukanya yang kecoklatan. Yudha tahu pasti, Jeany masih sangat mencintainya. Ia ingat sekali salah satu percakapan mereka yang membuat Yudha terharu.

“Katanya mawarnya sudah dibuang, sudah jelek, terus Jeany minta yang baru?” Waktu itu Yudha mengucungkan setangkai mawar merah yang sangat harum. Mawar itu tak mau disentuh oleh Jeany. Ia melengos.

“Kenapa?” Tanyanya kemudian.

“Habis gak ada ucapan yang kayak kemarin.” Jeany ngambek. Yudha ingat, mawar pertama dan anggrek pertama yang diberikannya kepada Jeany terdapat ucapan, Ini sebagai tanda rasa sayangku padamu, meski tidak abadi…

Demi menjaga ucapan itu, Jeany rela menyimpan kelopak dan mahkota-mahkota kering mawar yang pernah diberikan Yudha. Mungkin itu juga yang dilakukannya terhadap anggrek bulannya hingga saat ini. Yudha tahu, Jeany masih sangat mencintainya, meskipun Jeany kini hanya menunduk 90 derajat bila bertemu dengannya. Anggrek bulan yang bermekaran itu sudah mewakili hati Jeany. Dan Yudha bersyukur lebih dalam lagi kepada Alloh SWT, sampai saat ini ia belum dipertemukan oleh sesosok hawa yang bisa membuatnya luluh seperti halnya Jeany. Yudha selalu berdoa dalam sujudnya yang lebih lama itu, ia menginginkan hanya Jeany yang tetap menjadi tempat benang merahnya berlabuh.

—The End—

Entry filed under: Cerpen.

puisi buat azwa

Tinggalkan komentar

Trackback this post  |  Subscribe to the comments via RSS Feed


Tanggalan

April 2008
S S R K J S M
 123456
78910111213
14151617181920
21222324252627
282930  

The Most 'Anyar' here