Berubah Aliran

April 28, 2008 at 9:24 am Tinggalkan komentar

Sholat Isya dan tarawih berjamaah yang akan diadakan di masjid sekolah sedang dinantikan oleh panitia dan peserta pesantren kilat tahun ini. Dari lantai atas, Rama yang menjabat sebagai seksi keamanan, masih terdiam memandang Icha yang sedang duduk sendirian di depan kelas. Icha yang merasa diperhatikan pun akhirnya menoleh kearah datangnya sorot mata itu. Rama yang terlanjur tertangkap basah hanya bisa melambaikan tangannya. Icha membalasnya dengan senyuman. Rama mengakui kalau Icha memiliki senyum yang manis, ingin rasanya ia membalas dengan kiss bye andalannya. Tapi kemudian Rama menarik kembali keinginan norak yang muncul di otak besarnya itu. Rama pun tersenyum.

Icha segera masuk ke kelas saat Adzan Isya dikumandangkan dengan merdu oleh Iqbal, sang ketua rohis sekaligus juga ketua pesantren kilat ini. Rama pun segera berlari melewati lorong kearah masjid sekolah yang terletak pula di lantai atas.

Sholat Isya dan tarawih berjalan dengan lancar. Setelah ini, anak-anak yang ingin mengikuti tadarus boleh tinggal di masjid. Sedangkan, kalau ada yang ingin beristirahat diperbolehkan menuju ke kelas masing-masing. Tak banyak yang mau mengikuti tadarus. Mungkin jaman sudah semakin gila. Anak-anak lebih banyak memilih kembali ke kelasnya.

Icha dan kelompok segengnya segera menuju ke kelas. Mereka menepikan meja dan kursi yang tertata rapi menjadi tumpukan benteng yang mengelilingi kelas. Icha menyapu lantai, kemudian Sarah dan Ima mengambil tikar yang sudah disediakan.

Setelah tikar tertata di lantai, lima belas gadis yang memilih kembali ke kelas ini segera mengeluarkan obat anti ngantuk mereka.

“Jreeeng… ayo main kartu!” Ucap Lidya dengan semangat.

“Gila kamu ya, Lid. Bawaannya begituan?” Alia menimpali sambil geleng-geleng kepala.

“Mau ikutan main gak?” Lidya bertanya lagi dengan menatap semua cewek yang sudah bersiap menyelimuti tubuh mereka dengan selimut.

Kelimabelas cewek yang sudah menghuni kelas itu pun akhirnya mengikuti Lidya. Mereka juga belum cukup mengantuk. Beberapa kali Icha berteriak kegirangan karena menang main kartu. Suara Icha yang lumayan cukup melengking itu pun terdengar hingga ke ruang sekertariat.

Tak lama kemudian,

“Ehemm, sudah malam bukannya pada tidur?” Suara Pak Garin, guru agama Islam, terdengar dari luar kelas. Iqbal yang berada di samping Pak Garin hanya bisa geleng-geleng kepala.

Seketika itu juga, Lidya cepat-cepat menyembunyikan kartu yang tadi dibawanya. Anak-anak yang lain pun segera menuju ke posisinya masing-masing. Tiba-tiba seseorang mengetuk pintu. Mereka semua segera saling pandang. Pintu kelas terbuka, dari balik pintu Rina dan teman ukhti-ukhtinya masuk ke kelas setelah selesai tadarusan.

“Hayoo, kalian main kartu yah?” Tanya Rina usil.

“Udah jangan kebanyakan komentar deh, Kita-kita udah pada ngantuk nih.” Ucap Lidya dengan ketus. Icha dan Sarah yang berada di sudut kelas terkekeh pelan dibalik selimut mereka.

Seketika ruang kelas menjadi sunyi. Suara jangkrik yang ada di kebun belakang pun dapat terdengar jelas. Mereka segera memejamkan mata menuju ke alam mimpi mereka.

“Lidya, ada putih-putih di depan pintu. Jangan biarkan dia masuk!!” Suara Ima terdengar membahana di ruang kelas itu. Semua anak terbangun mendengar teriakan Ima.

“Putih-putih apa, Ma? Jangan nakutin aku dong.” Ucap Icha yang seketika terbangun seraya mengusap kedua matanya.

Ima tidak menjawabnya. Saat Lidya meraih pundak Ima kemudian mengguncangnya, Ima tetap tak bergeming.

“Wah ngigau nih anak.” Lidya menyimpulkan kejadian yang baru saja terjadi.

“Ih, bangunin donk si Ima. Takut dia kenapa-kenapa.” Sarah menyarankan ide brilian itu dengan mimik muka yang kuatir.

Lidya segera membangunkan Ima. Ima terbangun dengan muka acak-acakan dan dalam keadaan setengah sadar dari mimpinya.

“Kok dibangunin sih, aku masih ngantuk berat nih.” Seketika tubuh Ima tergeletak dan tak bergeming kembali.

“Kayaknya Ima gak kenapa-kenapa deh!” Lidya kecewa dengan komentar yang baru saja Ima lontarkan. Ia pun segera membenamkan mukanya dibalik selimut.

Tak begitu lama kemudian, petugas sahur berteriak di luar kelas.

“Sahur-sahur, bangun sahur kalau pengen kebagian!!” Teriak Rama dari luar kelas.

“Sahur….sahur.” Teriak beberapa pengikut Rama kemudian.

Icha dan keempat seksi konsumsi lainnya segera bangun dan meraih pasta gigi serta sikat gigi mereka. Sepertinya Icha dan Ima terburu-buru menuju ke kamar kecil yang terletak di sebelah kantin sekolah. Di belakang mereka, semua penghuni mengikuti dari belakang. Mereka juga tak ingin kehabisan makan sahur mereka masing-masing.

“Cha, kamu nyium bau wangi gak?” Tanya Ima yang menempel tepat disamping Icha.

“Nggak tuh? Perasaan kamu aja kali.” Icha menjawab dengan sedikit ragu-ragu. Padahal dia juga mencium bau wangi mawar itu dekat di ujung hidungnya.

“Cha, bulu kudukku merinding nih.” Ima tak tahan lagi dengan suasana dilorong gelap yang menuju kearah kamar kecil.

“Udah jangan takut, anak-anak juga bentar lagi bakalan nongol.” Icha berusaha menenangkan Ima. Tak lama mereka berdua pun sampai ke kamar kecil. Cahaya lampu di kamar kecil memang sedikit remang, namun Icha tak mempedulikan hal itu. Ia cepat-cepat menyalakan kran air di dekat pintu keluar.

Ima menuju ke salah satu kamar kecil yang berderet empat buah itu. Cukup lama Ima terdiam.

“Ma, kamu ngapain aja sih? Udahan belom?” Icha merasa sedikit kuatir dengan Ima yang tiba-tiba membisu.

“Bentar Cha, aku lagi konsen nih. Nanggung dikit lagi.” Ucap Ima dengan penuh keyakinan.

“Oke!”

Beberapa saat kemudian Ima pun keluar dengan muka lega.

“Kamu ada-ada aja pagi-pagi buta gini nabung.”

“Yah maklum. Ngomong-ngomong yang lain pada kemana yah?”

“Tau. Udah yuk, kita buru-buru ke auditorium.”

Di dalam Auditorium, anak-anak yang lain sudah stand by dengan senyum sok imut mereka.

“Kalian kemana aja sih? Kita tungguin juga di kamar kecil belakang.” Tanya Icha pada Lidya dan makhluk-makhluk lain yang sudah duduk bersila dengan rapi diatas karpet hijau.

“Kita-kita tadi cuci muka di kran deket laboratorium. Maaf yah, by the way berani banget kamu, Cha.” Ucap Lidya santai.

“Oh, kalian pasti mau bilang kalau di kamar kecil ada hantu `kan?” Icha berusaha bersikap setenang mungkin. Wajah semua orang yang ada di auditorium mendadak berkerut.

“Kamu lihat gak, Cha?” Tanya Rama sambil memberikan nasi bungkus kepada Icha.

“Tadi dia titip salam lho buat kamu. Katanya, spesial buat Rama yang keren, salam cinta. Kamu ditunggu buat nguras bak tuh!” Icha tampak kesal dengan pertanyaan Rama yang seolah-olah sudah mengetahui apa yang sebenarnya ada di kamar kecil itu.

“Yang bener Cha? Serius?” Rama tampak kegirangan mendengar ucapan Icha barusan.

Gila apa rada gak beres nih anak? Kalau pas diem sih keren, tapi kalau sudah muncul sikap konyolnya gini. Semuanya jadi buram deh. Komentar Icha dalam hati.

“Gila kamu yah?” Icha menarik telunjuk kanannya keatas alis, lalu mencari posisi duduk yang nyaman.

Setelah berdoa bersama, semua peserta pesantren kilat segera melahap makan sahurnya dengan nikmat. Kebersamaan memang membuat nasi lauk tempe menjadi lebih nikmat.

Seharian dari pagi hingga menjelang Ashar, selain sholat berjamaah, setiap jamyang berarti dalam acara pesantren kilat ini diisi oleh ceramah-ceramah dari beberapa ustad dan kyai yang dengan ikhlas memberikan ceramahnya.

Tema-tema yang diangkat pun sangat menarik. Peserta dari kelas satu dan panitia dari kelas dua semuanya menyimak dengan santai, kecuali yang tidak tentunya. Terutama bagian konsumsi yang sibuk menyiapkan nasi bungkus dan minuman untuk dibagi-bagikan ke jalan.

Pukul 16.00 WIB seluruh armada di pesantren kilat ini turun ke jalan. Ada beberapa pengamen kecil dengan pakaian lusuh mereka sedang memainkan tutup botol yang mereka rangkai untuk dijadikan `ecek-ecek`. Kehadiran Icha dan Iqbal mengagetkan mereka.

“Dek, ini ada sedikit makanan buat kalian. Kalian puasa tidak? Kira-kira masih ada teman-teman lain gak disekitar sini?” Iqbal menanyakan pertanyaan bertubi-tubi.

Icha yang mendengarkan hal itu segera mengomentari.

“Bal, mereka bingung mau jawab yang mana! Kamu tanya satu-satu kenapa?”

Ketiga anak laki-laki yang berusia sekitar 8-9 tahun itu ada yang menggeleng dan ada pula yang mengangguk. Iqbal dan Icha saling berpandangan dengan penuh tanda tanya.

“Mbak, ikut aku yah!” kata salah seorang diantara mereka. Sepertinya anak ini yang paling tua diantara mereka bertiga.

Icha dan Iqbal yang turun di wilayah ini segera mengikuti mereka bertiga. Tak jauh dari perempatan itu, disebuah selokan yang lebar dengan lembah yang sedikit landai. Terdapat seorang perempuan tua dengan seorang gadis kecil di pangkuannya mereka tertidur pulas diatas lembaran kardus.

“Anto, jangan dibangunin.” Bisik salah seorang anak kepada anak laki-laki yang mengajak Icha tadi.

“Nama kamu Anto yah?” ucap Icha kemudian.

Anak laki-laki berwajah lusuh yang berusia sekitar sembilan tahun ini mengangguk.

“Boleh tidak aku memintakan makan buat mereka juga?” Anto bertanya dengan penuh harap sembari meneteskan airmata.

“Mereka ibu dan adik kamu? Tentu saja boleh, malah kamu boleh main ke rumah kakak. Kak Iqbal dan Kak Icha ini tetanggaan. Rumah kami tak jauh dari sini. Anto boleh belajar mengaji juga disana bersama adik-adik TPA yang lainnya.” Jawab Iqbal sambil menepuk pundak Anto.

Apa hubungannya ngasih makanan sama main ke rumah yah? Pikir Icha dalam hati.

“Makasih Kak, tapi bener Anto boleh `kan minta dobel?” Muka Anto tampak berseri-seri.

Icha dan Iqbal memberikan Anto beberapa bungkus nasi. Tanpa membangunkan ibu dan adik Anto, mereka berlima segera kembali ke tempat mereka bertemu.

Sekembalinya Icha dan Iqbal dari jalanan. Mereka saling bertukar kisah dengan teman-teman yang lain yang juga tak kalah serunya menemukan hal-hal yang lebih bisa membuka mata hati semua anak terhadap sisi lain kehidupan di Jogja.

Pesantren Kilat yang diadakan tepat di bulan ramadhan ini semakin menambah ketakwaan mereka kepada Allah SWT, terlebih lagi anak-anak mendapatkan pelajaran berharga untuk lebih menghormati satu sama lain dan menjalani bulan ramadhan ini dengan penuh harap mendapatkan ampunan serta pahala yang besar dari Allah SWT.

Malam itu, setelah selesai sholat tarawih, pentupan pesantren kilat pun diadakan dengan hikmat. Lampu di dalam auditorium seketika padam. Beberapa lilin dinyalakan oleh Rama, Iqbal dan anak-anak cowok lainnya.

Ditengah-tengah kesunyian itu. Icha membacakan sebuah puisi…

Aku adalah hamba-Mu…

yang menghitung bulan dengan jemariku…

yang mengucap doa atas segala keinginanku…

yang tertunduk malu menyesali semua salahku…

Berikan aku ampunan-Mu ya Alloh…

Dosaku begitu pedih mengiris hatiku…

Membayagiku dengan bayangan hitam di setiap anganku…

Masa laluku suram Ya Alloh…

dan dengan ijin-Mu, aku ingin mencerahkan hidupku serta kembali kepada-Mu dengan tangan putihku…

Semuanya terdiam, ada pula satu dua suara yang sesenggukan di barisan anak perempuan. Icha segera duduk dan tersenyum dalam hati. Dia merasa puisinya kali ini berhasil mempengaruhi hati pendengarnya. Icha yang sering membuat puisi-puisi cinta itu, entah kenapa, kali ini ia berkata dalam hati… Gimana rasanya yah, berubah aliran?

Setelah semua acara selesai, Icha menunggu jemputan kakak semata wayangnya, Kak Intan, di depan sekolah. Tak lama kemudian Rama muncul dengan menaiki sepeda motor gedenya.

“Cha, aku anterin yah. Aku juga pengen ngomong sesuatu sama kamu.”

“Ngomong apaan? Sekarang aja kalau mau ngoong. Gak usah pake acara mau nganter segala.” Jawab Icha sok ketus. Icha sangat tahu apa yang ingin diungkapkan oleh Rama. Sejak setahun yang lalu.

“Penting nih.” Rama memohon.

“Udah, tahun depan aja yah!”

Iqbal yang juga tetangga Icha itu pun melintas sembari mengucapkan salam. “Assalamu`alaikum….” Rama mulai nih, kapan ya dia mau menyerah? Iqbal melesat cepat sambil menggumam dalam hati.

“Wa`alaikumsalam.” Jawab Icha dan Rama dengan serentak. Dari arah gang masuk ke sekolah mereka, Kak Intan datang membawa Lily, adik sepupu Icha yang kebetulan menginap untuk liburan. Icha segera menghampiri Kak Intan tanpa berpamitan dengan Rama. Entah untuk berapa kali lagi Rama harus bersabar dengan perasaan hatinya yang sudah cukup lama terpendam itu.

Keesokan harinya, Iqbal datang ke rumah Icha sambil ngos-ngosan.

“Assalamu`alaikum..” Teriak Iqbal dari depan rumah.

“Wa`alaikumsalam, masuk sini, Bal!” Jawab Ibunda Icha dengan ramah.

“Icha mana, Bu?”

“Ada apa, jangan teriak-teriak gitu. Aku juga denger.” Icha muncul dari dalam menuju ke teras.

“Rama kecelakaan, Cha. Sekarang dia koma di rumahsakit.”

“Astagfirullah, kapan?” Tiba-tiba muka Icha menjadi pucat. Pikiran Icha sudah kemana-mana. Apa mungkin gara-gara kemarin malam aku menolak diantar olehnya yah? Ah, tidak mungkin, semua itu sudah takdir, Cha… Icha menenangkan hatinya sendiri.

“Ayo Cha, kita cepat ke rumahsakit. Aku ambil motor dulu.” Iqbal segera berlari kembali ke rumahnya. Sedangkan Icha cepat-cepat memakai jaket kesayangannya dan mengambil tas samping yang biasa dibawanya main ke mall.

“Ayo, cepat naik.” Iqbal yang biasanya gengsi membawa cewek di motornya itu kali ini tak mempedulikan lagi. Icha pun segera duduk dibelakang Iqbal. Ia paham bagaimana perasaan Iqbal terhadap sahabat dekatnya yang sedang terkapar di rumahsakit saat ini.

Saat keduanya tiba di rumahsakit. Salah seorang perawat UGD mengatakan bahwa Rama telah dibawa ke ruang ICU.

Lorong-lorong di rumahsakit tampak menghitam dan gelap. Icha mengutuk perbuatannya kemarin malam. Ia berjalan mengikuti langkah kaki Iqbal. Saat tiba di sebuah tikungan, Icha menabrak tubuh seorang anak kecil.

“Aduh, maaf Dek.” Icha segera menunduk melihat dengan jelas wajah mungil yang ada dihadapannya.

“Kak Icha….” Ucap sosok tersebut.

“Anto, kenapa kamu disini?” Ucap Icha sembari memegangi kedua bahu anak itu.

Airmata Anto berlinang dengan derasnya. Icha segera memeluk Anto. Ia seolah merasakan apa yang Anto rasakan. Dari ujung lorong, ayah Rama berlari-lari kecil menghampiri Icha, Iqbal dan Anto.

“Pak Bondan, bagaimana keadaan Rama?” Iqbal menanyakan hal yang sepertinya tidak seharusnya ia tanyakan. Airmata sedang membasahi pipi Pak Bondan. Pak Bondan hanya menggeleng.

“Maaf, tapi lebih baik kalian pulang saja. Jasad Rama akan segera dibawa pulang oleh ambulans.” Pak Bondan segera berlalu menuju tempat parkir mobil di rumahsakit tersebut.

Tubuh Pak Bondan yang tegap pun menghilang di tikungan. Di tempatnya berdiri, Icha memandang pias kearah Iqbal. Air mata Icha seolah-olah akan segera luber saat itu juga.

Anto memandangi Icha yang mulai berkaca-kaca.

“Kak, kakak jangan bersedih. Anto juga sedang sedih karena ibu dan adik Anto pun harus pergi. Anto sudah ikhlas, Kak. Anto sekarang ingin mendoakan mereka.”

Icha memeluk tubuh Anto erat. Airmatanya yang tak terbendung segera menghambur ke pipi Icha yang lembut.

At least, Ibu dan adik Anto yang ternyata ditabrak oleh Rama itu pun dimakamkan bersamaan dengan Rama serta dibiayai oleh keluarga Pak Bondan. Orangtua Rama yang kehilangan anak semata wayangnya itu kini menganggap Anto seperti anak mereka sendiri. Setidaknya, Anto kini bisa mendapatkan hidup yang layak. Iqbal dan Icha juga mulai mengikhlaskan kepergian Rama yang tak terduga itu. Semuanya karena sikap Anto yang bisa begitu tabah menghadapi kepergian kedua orang yang paling dicintainya.

Anto bilang,”Ada seseorang berkata kepadaku Kak, kadangkala orang yang meninggal itu lebih baik karena ia tak perlu lagi berpikir tentang kesalahan dan dosa yang bertambah yang akan diperbuatnya kelak.” Anto tersenyum pias dibalik semburat jingga yang turun menyelimuti pemakaman. Beberapa bunga kamboja yang bermekaran pun seolah-olah menyetujui perkataannya dengan menggugurkan bunganya yang indah.

Depok, 9 September 2006

Written By

Diane Yuyie

Entry filed under: Cerpen.

puisi buat azwa My Special Moment

Tinggalkan komentar

Trackback this post  |  Subscribe to the comments via RSS Feed


Tanggalan

April 2008
S S R K J S M
 123456
78910111213
14151617181920
21222324252627
282930  

The Most 'Anyar' here